Ikhlas, Sumber Segala Kebahagiaan
Sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang acara yang dilakukannya selama ini. Apakah sudah murni alasannya Allah, ada interes atau kepentingan semu lainnya?
Sumber http://gudangislami.blogspot.com
KETIKA seseorang melaksanakan kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang dilakukannya tidak diapresiasi orang lain.Ia bahkan akan mengalami penurunan motivasi yang sangat drastis, sampai tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk melaksanakan kebaikan.
Sebaliknya, jikalau ada apresiasi dari orang lain, semangat melaksanakan kebaikan akan kembali meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian, gotong royong tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri sendiri. Sebab, kita bersedekah tidak lagi alasannya Allah tapi alasannya manusia.
Padahal, Allah Ta’ala, memerintahkan kita bersedekah baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang saya sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Mengenai bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.
Menurut Hasan Al-Banna, tulus itu yakni memperlihatkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tapa mengharapkan laba popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.
Dengan demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang acara yang dilakukannya selama ini, apakah sudah murni alasannya Allah atau ada pretensi, interes, atau kepentingan semu lainnya?
Sebab jikalau tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.
“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya perihal seseorang yang berperang alasannya ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang biar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Dan, demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni tulus alasannya mengharap ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an;
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah [98]: 5).
Tegas, Komitmen & Lemah Lembut
Apabila seorang Muslim memahami tulus dengan baik dan mengamalkannya sepenuh hati, maka ia akan tampil sebagai sosok yang tegas, janji dan lemah lembut. Hal inilah yang terjadi pada sosok Abu Bakar radhiyallahu anhu.
Siapa tidak mengenal tabiat orisinil Abu Bakar, dia yakni sosok sahabat yang pemalu, gampang menangis kala mendengar ayat-ayat Al-Qur’an dan sangat lemah lembut. Tetapi, kala pedoman Allah hendak dipisahkan, yakni antara zakat dan sholat, ia berubah 180 derajat menjadi eksklusif Muslim yang sangat tegas.Bahkan, Sayyidina Umar yang populer sangat tegas pun seketika tidak bisa menentukan apapun selain tunduk pada kebijakan khalifah pertama umat Islam itu.
Komitmen Abu Bakar terhadap kebenaran tidak tergoyahkan oleh apa pun juga. Entah itu senioritas, keilmuan atau pun prestise lainnya yang masih diyakini sebagian bangsa Arab. Jika ditanya, mengapa Abu Bakar demikian, tidak lain alasannya keikhlasannya dalam menjalankan perintah Allah.
Ikhlas menyerupai itulah yang diharapkan oleh setiap Muslim di negeri ini, khususnya para pemimpin dan pemangku kebijakan. Jika hal itu bisa diwujudkan, maka secara bertahap, segala permasalahan keumatan, kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan akan bisa diatasi dengan sebaik-baiknya.
Oleh alasannya itu, mari senantiasa perbaiki diri, terutama keikhlasan diri kita dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sebab, tulus inilah sebaik-baik jalan bagi setiap Muslim untuk benar-benar bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki. Semoga Allah memperlihatkan kekuatan diri kita untuk terus tulus dalam amal sholeh, dakwah dan jihad fii sabilillah.
Sumber http://gudangislami.blogspot.com
Posting Komentar untuk "Ikhlas, Sumber Segala Kebahagiaan"