Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Semula Sangat Benci Muslim, Sekarang Islam Yakni Hidupnya

JR Farrell masih mengingat betul masa kecilnya, bagaimana kedua orang tuanya bertengkar gara-gara uang, situasi kehidupan dan perkara-perkara lain. Tak hilang pula dari kenangannya ketika ia mesti hidup di rumah-rumah sosial di sisi selatan Chicago, hampir tanpa apa pun untuk dimakan.

"Dengan keluarga beranggotakan 10 orang, sulit bagi ayah saya untuk menopang hidup sesuai dengan cara yang paling diinginkan,'tuturnya.

Masa muda yang sulit


Ayah Farrell --berdarah gabungan Jerman dan Irlandia--adalah pekerja keras tapi juga pemabuk. Meski kerap memukuli ibunya, arrell mengaku masih menyayangi ayahnya.

Setiap kali pulang dalam kondisi mabuk dan kesal terhadap sesuatu ia akan mendatangi Farrell dan adik-adinya serta menimpakan semua lewat pukulan hingga tak ada yang sanggup dilakukan. Farrell kerap tak sanggup berjalan atau bernafas gara-gara siksaan tadi. Begitu pun jika abang lakinya mengoceh dan jengkel ia pun akan mendapatkan serangan fisik. "Itulah sebagian besar masa kecil saya." kenang Farrell

Masuk masa remaja, semua yang ada di sekitar Farrell mulai menggoda, sahabat wanita, minuman, klub malam, obat-obatan dan yang lain. "Tapi entah saya tak bisa, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar."

Salah satu adiknya ternyata ialah pengedar narkoba terbesar di Chicago. Hampir setiap hari ia membawa jenis obat-obatan ke rumah untuk dijual eceran di lingkungan sekitar. Si adik paham betul pandangan Farrell.

Begitu adiknya tak berada di rumah, Farrell membuang semua obat-obatan senilai 1000 dolar ke toilet dan mengguyurnya. Saat pulang dan mengetahui itu, adiknya, tutur Farrell, sangat bergairah membunuhnya. "Ia mungkin akan membunuh saya jika mempunyai kesempatan. Tentu saya dibela orangtua alasannya ialah saya lebih renta dan saya dianggap harus mengajarinya untuk lebih baik.

Pencarian Pengetahuan

Semua bencana dalam masa kecil hingga remaja menciptakan Farrell menyadari betapa ringkih kehidupan. "Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai berguru apa pun dan semuanya." tutur Farrell.

"Satu hal yang patut diketahui wacana keluarga saya, mereka sangat kompetitif terhadap satu dan yang lain. Begitu mereka melihat salah satu anggota lebih maju maka mereka ingin menghentikan anda dari jalur dan menciptakan anda tak sanggup melangkah lebih maju," ujarnya.

Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhawtirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti anutan atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku ketika itu menyukai fakta bahwa Hitler mempunyai kendali atas ribuan orang. "Menjadi Nazi, menciptakan saya merasa penting, menjadi seseorang." Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru bahagia dengan seluruh pemikiran Farrell.

Ada alasan mengapa ayah Farrell suka dengan gagasan Nazi. Sedikit ke belakang pada 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. mulai mengkremasi semangat orang-orang dengan 'mimpinya', ayah Farrell menrencanakan menyingkirkan semua warga kulit gelap dari area pertanian Chicago.

Satu fakta, ketika Martin Luther King Jr bersama pendukungnya turun ke jalan di sisi barat Chicago, ayahnya telah mengorganisir massa. Geng itu tak hanya menciptakan kulit gelap keluar kota, tetapi juga memicu perang antara kulit putih dan kulit hitam. Hari itu pula, ayah Farrell menghantam hidung Martin Luther King dengan watu bata, dan hingga kini, tutur Farrell, ia selalu berkoar-koar wacana itu.

Lama sehabis itu, tahun 1997, keluarganya beserta Charles Mason memulai lagi misi rahasia. Farrell berda di sana ketika mereka mengorganisir serangan terhadap bocah kulit gelap berusia 11 tahun yang tak sengaja berjalan di lingkungan kulit putih Chicago. Mereka, tutur Farrel, sanggup membunuh si bocah sehabis menganiayanya habis-habisan, namun menentukan meninggalkan ia berdarah-darah sebagai tanda peringatan. Setelah menyaksikan itu, Farrell merasa gagasan Nazi dan semua berbau ras tak lagi cocok dengannya.

Titik Balik


Pada 1995, Farrell bertemu dengan perempuan pertama yang menciptakan ia jatuh cinta. Meski ia mempunyai kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. "Saya tidak bisa, saya tak membolehkan diri saya untuk mempunyai relasi intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi." ujarnya.

Beberapa bulan sehabis itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun bekerjasama seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. "Kami berdua paham bahwa akan banyak problem jika kami lakukan itu," tutur Farrell.

Saat bersama kekasihnya ia mulai lebih fokus. Farrell terus berguru dan belajar. "Saat itu saya merasa ada sesuati yang hilang dan mulai menyadari kehidupan dan tujuan saya hidup, hanya saja saya tak sanggup menunjuk pasti," tutur Farrell.

Semakin ia membaca, semakin besar pula upaya orang tuanya untuk menariknya mundur, menyerupai yang ia tuturkan soal keluarganya yang kompetitif. Orangtua Farrell mulai melaksanakan serangan mental. "Mereka menyampaikan betapa buruknya saya waktu kecil dan bagaimana saya tidak berterima kasih sebagai anak atas makanan dan tempat berteduh yang mereka berikan untuk saya," tutur Farrell. "Orang renta saya tak pernah lulus SMA. Mereka hanya hingga tingkat 8 kemudian putus sekolah ketika tingkat 9. Karena itu pendidikan orang renta saya terbatas. Semua yang mereka tahu hanyalah berdasar apa yang mereka lihat di TV dan sikap orang-orang," kata Farrell.
Namun bukan berarti Farrell tak menghargai orangtuannya. "Saya mempunyai rasa terima kasih besar terhadap apa yang mereka lakukan. Saya menghargai disiplin mereka," ungkap Farrell. Atas didikan mereka pula ia sudah menerima pekerjaan pertama pada usia 12 tahun. Pada usia 13 ia sudah bekerja penuh waktu dengan pendapatan setara yang dihasilkan orangtuanya.

Pada usia 16 tahun ia telah mempunyai apartemen pertamanya. Ia memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian, berbelanja sendiri. Farrell tengah bersiap menikah. Saat itu ia mengikuti pandangan orang tuanya yang menilai seseorang berdasar perbuatannya "Saya sepakat dengan orang renta saya, hingga kini," akunya.

"Namun itu pula yang menciptakan saya membenci Muslim dan Islam. Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai," ujarnya. Karena media? "Ya itu bab dari propaganda, namun sebagian besar saya menilai itu alasannya ialah ulah Muslim. Mereka kadang ialah pihak yang merusak reputasi Islam sehingga membenci kami. Itu menyedihkan tapi itu faktanya," ujar Farrell yang telah memeluk Islam.

Hadiah Paling Berharga
Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur'an sebagai hadiah. "Semata-mata alasannya ialah saya begitu suka membaca," tuturnya. "Sekedar memberitahu bagaimana dulu saya membenci Muslim, begitu ia memberi Al Qur'an kami bertengkar jago dan kami putus hingga beberapa saat," kenang Farrell.

Akhirnya suatu malam ia mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. "Saya masih ingat betul ketika itu, rumah begitu bersih, udara terasa lezat dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Quran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali," tutur Farrell.

Ia membaca bab awalan, tiga halaman pertama, dan, "Saya mulai menangis menyerupai bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak sanggup menahan diri. Seketika saya tahu bahwa inilah yang saya cari selama lini. Saya menyerupai ingin memukuli diri sendiri, mengapa tak segera menemukan semenjak dulu," ujar Farrell.

Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur'an. "Ini bukan Islam yang saya kenal. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang jelek yang saya pikir sebelumnya," kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai menyerupai membaca jiwanya dalam Alqur'an. "Sungguh indah, tetapi juga menciptakan saya meratapi diri. Setelah itu saya kembali menjalin relasi dengan tunangan saya dan mendiskusikan banya hal secara dewasa," ujarnya. Tak usang sehabis itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.

Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. "Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, 'Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kau mati sebagai Katholik,'". Reaksi ibu Farrell pun setali tiga uang.

Saat itu Farrell berhasrat besar untuk kuliah. "Saya ingin menempuh pendidikan formal. Saya sanggup pekerjaan dan membayar semua kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga ke perguruan tinggi tinggi," tuturnya.

Saat itu pula ia didepak keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. "Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar ketika malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999," tutur Farrell.

Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. "Saya berjalan bermil-mil untuk sanggup bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polisi hanya gara-gara masuk ke tempat kulit gelap demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin sanggup bersama Muslim lain,"

Hingga suatu hari ia bertemu seorang sahabat yang kemudian membantunya. Si sahabat berkata, jika Farrell sanggup membangun sebuah masjid dalam toko knalpotnya, maka ia sanggup tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.

Toko itu mempunyai ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang digunakan untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan balasannya membuka masjid toko knalpot pertama di Kota Chicago. "Saya berguru pertukangan dari paman saya. Itu ialah pekerjaan penuh waktu yang pertama." tuturnya.

Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil menerima satu pekerjaan lebih anggun dan pindah bersama dua sahabat ke apartemen baru. Tunangannya tak ada lagi dalam adegan hidupnya. "Kami telah oke untuk hidup sebagai Muslim, bukan menyerupai orang bodoh. Saya lebih menyayangi ia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah," ungkap Farrell.

Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majelis taklim dan sering mendatangai seminar. Ia mulai mempunyai seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun relasi dengan teman-teman Muslim lain.

Pergi Haji


Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. "Satu hal yang saya sadari Haji ialah kebenaran wacana Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya sanggup mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya menyerupai hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis itu bangun dan menjelma. Saya menyerupai menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bacin perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul," tutur Farrell.

Meski ia sendiri tanpa istri dan keluarga, Farrell menyadari Islam ialah kehidupan. "Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekedar agama, alasannya ialah agama sanggup dibiaskan. Saya memahami bahwa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak sanggup dinilai alasannya ialah agresi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.

Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor pertolongan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun

Dalam sebuah essay, Farrell menulis, "Sebanyak yang sanggup saya tuturkan, tak ada yang sanggup memaparkan isi terdalam hati saya. Saya hanya menyebut sedikit hambatan yang saya hadapi. Saya tahu banyak orang di luar sana mengalami kesulitan lebih banyak, mungkin lebih jelek lagi. Tujuan saya menyebarkan ialah untuk menyampaikan bahwa saya memahami kesulitan yang dialami mereka di sana. (republika.co.id)
Sumber http://gudangislami.blogspot.com

Posting Komentar untuk "Semula Sangat Benci Muslim, Sekarang Islam Yakni Hidupnya"